Apa kabar mu?
Mungkin kau sering sekali mendengar kalimat itu keluar dari mulutku,
bahkan di perjumpaan kita di hari lalu
pertanyaan itulah yang pertama kali ku lepas
bersamaan dengan senyum bulan sabit yang kau lemparkan.
Yaa, kau tentu paham kalimat itu mempresentasikan apa
Untuk kita yang terhubung oleh jarak dan waktu,
begitu paham apa makna kalimat itu.
Kita yang terbiasa di peluk kerinduan akan kehadiran yang satu atas yang lain
Bagi kita pertemuan kembali, bukanlah penawar untuk kata rindu
Pertemuan seperti hujan yang menumbuhkan tunas-tunas kerinduan yang baru,
Yang justru membuat kerinduan itu semakin bertambah banyak.
Paradoks kan?
Itulah mengapa aku tak mau berlarut dengan kerinduan
yang katamu seperti badai yang menggulung.
Aku tak mau bermain dengan badai
Lalu terseret ke samudera bernama rindu itu
Merepotkan sekali jika harus membunuhi waktu satu-satu persatu
Aku sudah memutuskan berhenti minum kopi
untuk merayakan hari yang berlalu tanpamu disini.
Soal jarak dan waktu, bagiku itu bukan malasalah
Dari sini kita bisa belajar
tentang bagaimana menahan diri
Lalu membungkus kerinduan yang terus tumbuh
dengan do’a malam yan teduh
Kemudian, soal ujian yang kau sebut dengan kerinduan
Tak perlu berpura-pura soal kerinduanmu,
Kau bukanlah orang yang pandai hal berpura-pura
Kau tak pernah bisa berpura-pura dengan sungguh-sungguh.
Yaa, pertemuan kembali adalah hal paling kita tunggu kan?
Biar ku tebak, kurasa kau akan lupa menceritakan semua itu kan:
Bulan sabit yang seindah senyummu
Embun yang selalu membawa cerita baru dalam tetes paginya
Senja yang malas beranjak pulang jika malam tak merayu
atau Hujan yang membawa senandung yang hanya bisa didengar oleh para perindu
Palembang, 6 April 2016
Senyum bulan sabit, cak itu kando yee 😊
senyum bulan sabit, tajem2 cak mano cak itu nah wik…….